Kepada kamu yang diam di sudut
ruangan itu,
Aku sering kali memerhatikanmu. tersenyum diam-diam melihat
wajahmu perlahan. Lalu kau menyerah pada rasa kantuk yang menyergapmu perlahan.
Kau sandarkan kepalamu pada meja belajar. Aku termangku dagu. Siksaan yang
menghantamku dengan keras. kau tak pernah menatapku meskipun aku seringkali
menatapmu.
Ingatkah kamu pada saat malam itu? Saat aku berjalan sendiri, lalu kau datang disampingku. Kalau peristiwa tersebut masuk didalam salah satu serial adegan korea, mungkin ada alunan lagu musik yang menggelitik merdu. Lalu wajahmu berdampingan dengan sinar bagaskara yang begitu lembut menyentuhmu. Slow motion, pertemuan mata kita saling bertemu. Lalu cut! Suara teman-teman kita memanggil lantang namamu dan namaku. Tatapan itu beranjak begitu saja. Kita berjalan sendiri-sendiri dengan langkah yang berbeda. Tahukah kamu, saat itu detak jantungku sedang menggelar oksetra dangdut? Setidaknya lagu Haji Rhoma irama yang berjudul penasaran mulai beresonansi dalam hatiku. “sungguh mati aku jadi penasaran, sampai matipun aku kan ku perjuangkan”. Hahaha
Untukmu yang mampu membuatku
tersipu malu.
Aku tak pernah merasakan apa-apa
dalam hatiku. Tentu, memang tidak ada virus cinta yang menggerogoti tubuhku. Aku
sangat percaya bahwa peasaan ini tercipta karena mendukungnya situasi. Hanya
rasa tertarik yang muncul karena kita berbeda dimensi. Aku tak tahu perasaan
ini harus disebut apa. Aku juga tidak tahu harus mempersepsikan kehadiranmu
dalam hari-hariku. Tapi kadang kala aku merasa bahwa kamu adalah bagian dari
diriku. Sedangkan aku (mungkin) bukan bagian dari dirimu. Pantaskah aku
mengeluh jika sosokmu hanya membuat hatiku keluh?
Kepada kamu sosok yang entah
harus kudeskripsikan bagaimana lagi. Aku kebingungan. Jelas, aku sangat
kebingungan. Katakan, apakah kau kadang memperhatikanku? Seperti yang sering kali
aku lakukan padamu. Hey, aku tak berharap kamu melotot melihat ini. Aku tak
ingin mulutmu menganga karena kebingungan setiap kalimat-kalimatnnya. Mungkin
kau tak menyangka bahwa akulah yang menulis ini. Pasti kau membayangkan
keseharianku, lalu membandingkannya dengan kebodohanku dalam surat ini. Aku
memang bodoh. Atau katakan saja bahwa
aku tolol. Mungkin kau benci dengan
sosok pengecut ini. Mungkin kamu benci
dengan aku yang tidak pernah menyapamu lebih dulu. Memang, ini salahku.
Aku begitu cepat tergoda pada
pesonamu yang menyilaukan mata.
Aku terlalu cepat memberhentikan hatiku di KAMU.